Memori 27 Mei 2006, Saat Kami Memutuskan Bersatu dalam Persaudaraan

Administrator 27 Mei 2019 07:51:01 WIB

Jurnalis Warga- Hari itu, Sabtu 27 Mei 2006. Waktu masih menunjukan pukul 05.55 WIB, lebih tepatnya 05.55.03 WIB. Waktu ketika sebagian besar orang masih terlelap hangat bersama mimpinya. Sebagian yang lain mulai sibuk mempersiapkan rutinitasnya untuk berdagang, sekolah, atau bekerja sepeti biasa. Barangkali, ada beberapa anak balita yang sudah duduk di dapur menemani si ibu yang memasak untuk si ayah. Sesekali ia sedikit merengek karena si ibu sedang sibuk menyalakan api, memotong sayur, sambil ngudang si anak agar ia tak merasa diabaikan.

Namun, rutinitas biasa yang dikira oleh sebagian besar manusia itu berubah seketika. Secara tiba-tiba tanpa pertanda, gempa yang luar biasa kuat melanda wilayah Bantul dan sekitarnya. Gempa yang tercatat berkekuatan 5,9 Skala Richter (Magnitude Body) atau setara 6,3 Skala Richter (Magnitude Moment) itu memporak-porandakan hampir semuanya. Gempa yang hanya berlangsung selama kurang lebih 57 detik pada waktu itu telah menghasilkan kerusakan dahsyat secara tiba-tiba. Suara teriakan ketakutan, tangisan, dan rintihan kesakitan menggema dimana-mana. Dalam waktu 57 detik, Bantul hari itu berbeda dari hari biasanya. Dalam waktu 57 detik, entah berapa banyak manusia yang belum sempat bangun dari indah mimpinya, entah berapa banyak ibu yang jatuh bangun menyeret dan menyelamatkan buah hatinya, entah berapa banyak suami dan orang tua yang berusaha mati-matian menyelamatkan keluarganya, serta entah berapa banyak anak-anak yang terpaku kebingungan sebab belum pernah mengalami tragedi sedemikian buruk dalam hidupnya.

Pasca terjadinya gempa, persoalan tak lantas reda. Di saat orang-orang masih kebingungan atas tragedi yang menimpa tiba-tiba, isu menyebar semena-mena. Ada yang mengatakan tsunami dari pantai selatan, yang lain mengabarkan Gunung Merapi mengalami letusan. Berita-berita bohong tersebut menyebar dengan cepat karena masyarakat dilanda kepanikan dan ketakutan. Alhasil, sebagian besar orang terjebak dalam kebingungan. Jalanan menjadi saksi bisu banyaknya orang yang memburu selamat. Ada yang lari ke arah utara atas dasar kabar air dari selatan sudah sampai daerah Dongkelan, ada yang lari ke selatan karena wedhus gembel sudah menerjang sampai daerah Kaliurang. Pada saat itu, orang menangis sampai tanpa air mata. Kombinasi antara sedih, sakit, takut, dan panik di dalam diri membuat psikis mereka terguncang dengan hebatnya.

Selang beberapa saat setelah pihak-pihak terkait menenangkan masyarakat atas menyebarnya berita bohong tersebut, keadaan tidak lantas membaik begitu saja. Rasa traumatis masyarakat masih saja diuji dengan gempa susulan yang terjadi beberapa kali. Seperti gempa susulan pada pukul 06,10 WIB, 08.15 WIB, 11.22 WIB, dan waktu lainnya. Pada waktu itu orang-orang terus memanjatkan doa, “cukup Tuhan”, “maafkan kami ya Allah”, “ampunilah ya Allah” dan sebagainya. Masjid, surau, gereja, dan berbagai tempat ibadah kemudian menjadi tujuan orang-orang yang merasa sepakat bahwa peristiwa ini karena kuasa dan kehendakNYA.

Selanjutnya, seluruh elemen masyarakat bersatu untuk mengambil tindakan cepat tanggap atas musibah gempa tersebut. TNI, Polri, BPBD, FPRB, kaya, miskin, turun langsung menolong para korban. Pada saat itu, status, jabatan, kekayaan, warna kulit, pilihan politik, dan sejenisnya diabaikan seketika. Atas nama kemanusiaan, kita adalah saudara, begitu kira-kira kekompakan yang mencerminkan kondisi masyarakat pada waktu itu. Semua bergerak cepat dan ikhlas dalam membantu sesama. Ada yang mendadak jadi tukang bangunan untuk membantu membereskan puing-puing, ada yang mendadak jadi tukang masak untuk membantu mensuplai makanan dan memastikan saudara sesamanya tidak dilanda kelaparan, ada yang mendadak jadi orang kaya dengan memberikan apa yang ia punya demi terjaganya pasokan logistik. Sekali lagi, ini semua dilakukan atas dasar solidaritas antar manusia. Saat itu, seolah-olah seluruh manusia adalah saudara serumah yang diliputi ketulusan dalam memberikan bantuan.

Hari ini, tepat 13 tahun tragedi 57 detik itu berlalu. Rasa trauma jelas masih ada. Rasa sakit masih terselip. Luka kadang kembali menganga ketika ingatan menerpa. Tetapi, hidup harus terus berlanjut. Tragedi tersebut cukup menjadi pelajaran sekaligus pengalaman pilu yang tersimpan dalam. Meskipun melalui peristiwa itu pula kita menjadi satu dalam persaudaraan. Seperti sebuah kutipan dari seorang filsuf, kehilangan adalah proses pendewasaan. Lagipula, semua ini hanya titipanNYA dan kepadaNYA lah akan kembali. Meskipun lebih mudah merangkai kata daripada melaksanakannya, namun mau tidak mau kita harus menyikapi tragedi tersebut dengan ketabahan dan kekuatan untuk bangkit kembali.

Tragedi gempa sudah berlalu. Kita semua sepakat bahwa tidak ingin peristiwa memilukan tersebut terulang kembali. Melalui momentum 27 Mei kali ini mari kita bersama memanjatkan doa untuk 4.143 korban meninggal dalam bencana gempa. Data tersebut diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul. Tentunya di wilayah sekitar Bantul ada korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya. Melalui momentum hari ini, mari kita kembali menjadi masyarakat yang semakin baik dari hari ke hari. Menjadi masyarakat yang terus menyadari bahwa kita ini hanyalah bagian kecil dari seluruh ciptaanNYA. Mari kita menyadari bersama bahwa manusia terlalu kecil dari alam dan kekuasaan sang pencipta. Dengan menjadi pribadi yang baik untuk sesama dan sekitar, kita berharap yang maha kuasa selalu berkenan menjauhkan kita dari tragedi-tragedi yang memilukan semacam ini.

Sebagai akhir dari artikel ini, mari kita bersama memaknai atas apa yang sudah terjadi. Apakah kita harus diberiNYA gempa, agar tak mudah saling caci maki antara sesama?. Apakah kita harus diberiNYA bencana, agar tak terus menerus meributkan perbedaan dan keberagaman yang ada?, Apakah kita harus diberiNYA kehilangan, agar tak terus menerus merusak indahnya sebuah hubungan?. Kita ini memang berbeda, dan harus saling menjaga. Kita ini memang beragam, dan jangan saling bikin runyam. Kita ini ada, dan tidak untuk meniadakan sesama. Setidaknya, bukankah kita sama dalam Indonesia?.

Ayo saling berbagi informasi positif demi kemajuan bersama. Ikuti media desa di WEB Desa Tamantirto, halaman facebook Desa Tamantirto, dan instagram @desa_tamantirto.

 

Penulis: Sasmito/Pedukuhan Jadan

Pict : Koran Sindo (news okzone)

#Bantulkuat

#Tamantirto

#SIDTM

Komentar atas Memori 27 Mei 2006, Saat Kami Memutuskan Bersatu dalam Persaudaraan

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

Kalurahan Tamantirto

Facebook

facebook.com/tamantirto.sid

Audio

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah Pengunjung

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License